A.
Pendahuluan
Undang-undang
Ketenagakerjaan yang dimaksud dalam makalah ini adalah Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 (UU 13 / 2003) tentang Ketenagakerjaan yang mulai berlaku efektif
tanggal 25 Maret 2003. UU 13 / 2003 ini menggantikan Undang-undang Nomor 28
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Perubahan undang-undang ketenagakerjaan itu
merupakah akibat terjadinya reformasi tahun 1998 yang secara yuridis telah
menghasilkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi
Manusia.Ketetapan MPR ini merupakan tonggak utama dalammenegakkan demokrasi di
tempat kerja. Penegakkan demokrasi di tempat kerjadiharapkan dapat mendorong
partisipasi yang optimal dari seluruh tenaga kerjadan pekerja/buruh Indonesia
untuk membangun negara Indonesia yang dicitacitakan.
Guna
mendorong partisipasi yang optimal dari seluruh tenaga kerja dan pekerja/buruh
Indonesia, perlu upaya untuk antara lain membangun pemahaman bersama mengenai
bagaimana masalah ketenagakerjaan ini diatur dalam UU 13/2003. Secara yuridis,
pengertian ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga
kerja padawaktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Dari pengertian
ketenagakerjaan itu dapat muncul persoalan mengenai apakah yang dimaksud dengan
kata “segala hal” dalam pengertian tersebut. Apabila kita simak batang tubuh UU
13/2003 dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan kata “segala hal” dalam
pengertian ketenagakerjaan meliputi (a) landasan, asas dan tujuan pembangunan
ketenagakerjaan; (b) kesempatan dan perlakuan yang sama untuk memperloleh
pekerjaan; (c) perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan; (d)
pelatihan kerja; (e) penempatan tenaga kerja; (f) perluasan kesempatan kerja;
(g) penggunaan tenaga kerja asing; (h) hubungan kerja; (i) perlindungan,
pengupakan dan kesjahteraan; (j) hubungan industrial; (k) pemutusan hubungan
kerja; (l) pembinaan dan pengawasan; (m) penyidikan; (n) ketentuan pidana dan
sanksi administartif.
Berdasarkan
gambaran mengenai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja sebagaimana
tampak dalam huruf (a) sampai dengan (n) di atas, maka sebagai langkah awal
untuk memberikan bekal bagi mereka yang hendak bekerja adalah membangun
pemahamanan tentang huruf (h) mengenai hubungan kerja.
B.
Hubungan Kerja
Menurut
pasal 1 angka 15 UU 13/2003, hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan perintah. Berdasarkan ketentuan tersebut, suatu hubungan
kerja mengandung makna ;
a.
terdapat hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh;
b.
hubungan itu terjadi karena perjanjian kerja yang memiliki unsur pekerjaan,
upah dan perintah.
UU
13/2993 menentukan bahwa Pengusaha adalah (a) orang perseorangan, persekutuan,
atau badan hukum yang menjalankan suatuperusahaan milik sendiri; (b) orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendirimenjalankan perusahaan bukan miliknya; (c) orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesiamewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yangberkedudukan di luar wilayah
Indonesia. Sedangkan pekerja/buruhadalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Hubungan
antara pengusaha dengan pekerja atau buruh terjadi karena perjanjian kerja,
yang memiliki unur pekerjaan, upah dan perintah. Menurut pasal 1 angka 14 UU
13/2003, perjanjian kerja itu sendiri adalah perjanjian antara pekerja/buruh
dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak dan
kewajiban para pihak.
Perjanjian
kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Adapun dasar pembuatan perjanjian
kerja adalah :
a.Kesepakatan
antar pekerja/buruh dengan pengusaha/pemberi kerja;
b.Kemampuan
atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.Adanya
pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d.Pekerjaan
yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
Apabila
dasar sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b (dasar subyektif) tidak
dipenuhi, maka perjanjian kerja itu dapat dibatalkan. Sedangkan apabila dasar
sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan d (dasar obyektif) tidak dipenuhi, maka
perjanjian itu menjadi batal demi hukum.
Perjanjian
kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat :
a.nama,
alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b.nama,
jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c.jabatan
atau jenis pekerjaan;
d.tempat
pekerjaan;
e.besarnya
upah dan cara pembayarannya;
f.syarat
syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g.mulai
dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h.tempat
dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i.tanda
tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Ketentuan
dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam huruf e tentang upah dan cara
pembayarannya, serta huruf f tentang syarat-syarat kerja, tidak boleh
ber-tentangan dengan peraturan perusahaan , perjanjian kerja bersama , dan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
Perjanjian
kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan
parapihak.Selanjutnya dalam pasal 56 ayat (1) UU 13/2003 ditegaskan bahwa
perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu atauwaktu tidak tertentu
(uraiannya tampak dalam butir c dan d).
C.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
PKWT
didasarkan atas (a) jangka waktu; atau (b) selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pembuatan PKWT dilakukan secara tertulis serta harus menggunakanbahasa
Indonesia dan huruf latin. Apabila PKWT tidak dibuat secara tertulis dan tidak
menggunakan bahasa Indonesia, maka PKWT tersebut dinyatakan sebagai Perjanjian
Kerjauntuk waktu tidak tertentu (PKWTT).
PKWT
tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaankerja. Jika dalam PKWT
mensyaratkan masa percobaan kerja, maka ketentuan masa percobaan kerja yang
disyaratkan dalam PKWT batal demi hukum.
PKWT
hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yangmenurut jenis dan sifat atau
kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,yaitu :
a.pekerjaan
yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.pekerjaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun;
c.pekerjaan
yang bersifat musiman; atau
d.pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produktambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan.
PKWT
tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifattetap. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa UU No. 13/2003 memberikan pembatasan bagi para pihak untuk
membuat PKWT, namun jika pembatasan ini tidak dipenuhi PKWT berubah menjadi
PKWTT, dan perubahan menjadi PKWTT terhitung sejak dimulainya hubungan kerja
berdasarkan PKWT.
Walaupun
PKWT merupakan merupakan suatu perjanjian yang di dalamnya terkandung kebebasan
berkontrak dan berkontrak merupakan hal yang asasi yang diserahkankepada para
pihak untuk menentukan berapa lama ia akanbekerja atau dipekerjakan; karena
langkanya kesempatankerja, maka dibutuhkan adanya kepastian kesempatan kerja.
Selain itu, berdasarkan kebebasan berkontrak, kontrak berakhir hubungan kerja
putus demihukum tanpa ada kewajiban pihak satu kepada pihaklainnya. Sehingga
apabila tidak ada pembatasan maka pengusaha/pemberi kerja akan leluasamembuat
kontrak untuk semua jenis pekerjaan, oleh karenaitu perlu dilakukan pembatasan
jenis dan sifat pekerjaanyang dapat PKWT-kan.
Meskipun
sifat pekerjaan itu merupakan pekerjaan yangterus menerus, tidak
terputus-putus, tidak dibatasi waktu,dan merupakan bagian dari suatu proses
produksi, namunapabila terdapat kebutuhan yang mendesak yang tidakdapat
dipenuhi dengan pekerja/buruh yang ada maka dalamkondisi tersebut perusahaan
dapat mempekerjakanpekerja/buruh baru dengan PKWT.
PKWT
dapat diperpanjang atau diperbaharui. PKWT yang didasarkan atas jangka waktu
tertentu dapatdiadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali untukjangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Apabila pengusaha/pemberi kerja hendak memperpanjang PKWT, maka
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum PKWT berakhir, telahmemberitahukan
maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Sedangkan
pembaharuan PKWT hanya dapat diadakan setelah melebihi masatenggang waktu 30
(tiga puluh) hari berakhirnya PKWT
Lama.
Pembaruan PKWT hanya dapat dilakukan 1 (satu) kalidan paling lama 2 (dua)
tahun. Apabila kriteria pembuatan, maupun tata cara perpanjangan dan
pembaharuan PKWT tersebut tidak dipenuhi, maka PKWT tersebut karena hukum
menjadi PKWTT.
D.
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
PKWTT
dapat mensyaratkan masa percobaan kerjapaling lama 3 (tiga) bulan. Dalam masa
percobaan kerja, pengusaha/pemberi kerja dilarang membayar upah di bawah upah
minimum yang berlaku.
Pada
prinsipnya PKWTT dibuat secara tertulis dan menggunakan bahasa Indonesia, namun
apabila PKWTT itu dibuat secara lisan, maka pengusaha/pemberi kerja wajib
membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.Surat
pengangkatan tersebut, sekurang kurangnyamemuat keterangan :
a.nama
dan alamat pekerja/buruh;
b.tanggal
mulai bekerja;
c.jenis
pekerjaan; dan
d.besarnya
upah
E.
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Oleh Suatu Perusahaan Kepada
Perusahaan Lain (Outsourcing)
Outsourcing
dilakukan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh yangdibuat secara tertulis.Para pihak yang terikat dalam
Perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh adalah
perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan dengan perusahaan yang menerima
penyerahan pekerjaan tersebut (perusahaan outsoursing). UU 13/2003 menegaskan
bahwa perusahaan outsourcing harus berbentuk badan hukum.
Menurut
pasal 65 ayat (2) UU 13/2003,dalam kegiatan outsourcing pekerjaan yang dapat
diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
:
a.
dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b.
dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c.
merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d.
tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Apabila
terjadi kegiatan outsourcing, hubungan kerja yang terjadi adalah antara
pekerja/buruh dengan perusahaan outsourcing. Agar tidak terjadi kesenjangan
antara pekerja/buruhdi perusahaan outsoucing dengan pekerja/buruh pada
perusahaan yang menyerahkan pekerjaan, maka pasal 65 ayat (4) UU 13/2003
berupaya untuk mengantisipasinya dengan mengatur bahwa perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sekurang-kurangnya
sama dengan perlindungankerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi
pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan
pengawasan atas pemenuhan syarat-syarat outsourcing sangat sulit dilakukan,
sehingga pelanggaran-pelanggaran kegiatan outsourcing kerap terjadi.
Pelanggaran yang banyak terjadi adalah rendahnya perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja terhadap pekerja/buruh pada perusahaan outsourcing.
Perlindungan dan syarat-syarat kerja yang diberikan pengusaha kepada pekerja
umumnya di bawah standar yang berlaku di mana pekerja dipekerjakan. Meskipun
realisasi hubungan kerja dibuat secara tertulis antara perusahaan outsourcing
dengan pekerja/buruh, akan tetapi perusahaan outsourcing mendapatkan keuntungan
melalui pemotongan sebagian hak yang diterima pekerja/buruh pada perusahaan di mana
pekerja ditempatkan.
Terjadinya
masalah hukum dalam kegiatan outsourcing tidak menyurutkan pembentuk
undang-undang untuk mengatur mengenai masalah outsourcing, sebab sebelum
berlakunya UU 13/2003, lebih banyak terjadi penyelewengan hukum dalam mengatur hubungan
kerja dan syarat kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh.
Dengan berlakunya UU 13/ yang berupaya melindungi pekerja dari ketidakpastian
hukum dalam hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan outsourcing,
tetap tidak menghentikan masalah pekerja/buruhoutsourcing, bahkan di satu sisi
semakin menjadi pilihan pengusaha untuk mengatur hubungan kerja dengan pekerja
outsourcing dengan alasan efisiensi biaya, waktu dan tenaga bagi pengusaha.
Dengan
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Nomor 27/PUU-IX/2011, yang
telah dibacakan dalam Sidang Pleno tanggal 17 Januari 2012, masalah pro dan
kontra kegiatan outsourcing maupun masalah hukum yang muncul akibat kegiatan
outsourcing diupayakan untuk diselesaikan. Penyelesaiannya dilakukan dengan
memutuskan bahwa :
Frasa
“…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan
frasa“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf
bUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (LembaranNegara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan LembaranNegara Republik
Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalamperjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan
adanya pengalihan perlindunganhak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya
tetap ada, walaupun terjadipergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian
pekerjaan borongan dariperusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh.
Sejanjutnya
juga diputuskan bahwa :
Frasa
“…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan
frasa“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf
bUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (LembaranNegara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan LembaranNegara Republik
Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang dalam
perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan
hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetapada, walaupun terjadi
pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari
perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Frasa
“PKWT” dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b UU 13/2003
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat,
sebab menurut pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi, ketentuan itu akan
mengakibatkan hilangnya jaminan kepastian hukum yang adil bagi pekerja dan
hilangnya hak setiap orang untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hal itu terjadi, karena dengan
berakhirnya pekerjaan pemborongan atau berakhirnya masa kontrak penyediaan
pekerja/buruh maka dapat berakhir pula hubungan kerja antara perusahaan
outsourcing dengan pekerja/buruh, sehingga pekerja/buruh kehilangan pekerjaan
serta hak-hak lainnya yang seharusnya diperoleh.
Menurut
Mahkamah Konstitusi, pekerja/buruh yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan
outsorcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi oleh konstitusi.
Untuk itu, Mahkamah harus memastikan bahwa hubungan kerja antara pekerja/buruh
dengan perusahaan outsourcing yang melaksanakan pekerjaan outsourcing
dilaksanakan dengan tetap menjamin perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh, dan
penggunaan model outsourcing tidak disalahgunakan oleh perusahaan hanya untuk
kepentingan dan keuntungan perusahaan tanpa memperhatikan, bahkan mengorbankan,
hak-hak pekerja/buruh. Jaminan dan perlindungan demikian tidak dapat
dilaksanakan dengan baik hanya melalui perjanjian kerja yang mengikat antara
perusahaan dengan pekerja/buruh berdasarkan PKWT, karena posisi pekerja/buruh
berada dalam posisi tawar yang lemah, akibat banyaknya pencari kerja atau
oversupply tenaga kerja.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, untuk menghindari perusahaan melakukan eksploitasi
pekerja/buruh hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis tanpa memperhatikan
jaminan dan perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh untuk mendapatkan pekerjaan
dan upah yang layak, dan untuk meminimalisasi hilangnya hak-hak konstitusional
para pekerja outsourcing, Mahkamah perlu menentukan perlindungan dan jaminan
hak bagi pekerja/buruh. Dalam hal ini ada dua model yang dapat dilaksanakan
untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh.
Pertama,
dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan
perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT,
melainkan berbentuk PKWTT.Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment
atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan
outsourcing.Melalui model yang pertama tersebut, hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing adalah
konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan “perjanjian kerja waktu tidak
tertentu” secara tertulis. Model yang kedua diterapkan, dalam hal hubungan
kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melakukan pekerjaan
outsourcing berdasarkan PKWT maka pekerja harus tetap mendapat perlindungan
atas hakhaknya sebagai pekerja/buruh dengan menerapkan prinsip pengalihan
tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of
Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan
outsourcing.
F.
Berakhirnya Perjanjian Kerja
Perjanjian
kerja (baik PKWT maupun PKWTT) berakhir apabila :
a.pekerja
meninggal dunia;
b.berakhirnya
jangka waktu perjanjian kerja;
c.adanya
putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
atau
d.adanya
keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian
kerja,peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkanberakhirnya hubungan kerja.
Namun
UU 13/2003 menegaskan bahwa perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya
pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan,
pewarisan, atau hibah. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa apabila terjadi
pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab
pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang
tidakmengurangi hak-hak pekerja/buruh.
Jika
pengusahanya adalah orang perseorangan dan meninggal dunia, maka ahli waris
pengusahadapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan
pekerja/buruh. Sebaliknya jika pekerja/buruh meninggal dunia, maka ahli waris
pekerja/ buruh berhak mendapatkan hak haknya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlakuatau hak hak yang telah diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atauperjanjian kerja bersama.
Apabila
salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu
yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan
kerjabukan karena alasan pengakiran sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai
dengan huruf d di atas, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan
membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai
batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
DAFTAR
PUSTAKA
F.X.
Djulmiaji, Perjanjian Kerja, Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Goenawan
Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia, Jakarta:
Grhadika Binangkit Press, 2004.
Imam
Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1999.
Rr
Ani Wijayati, Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
(Outsourcing) dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003, dalam Bunga Rampai
Masalah-masalah Hukum Masa Kini, Jakarta: UKI Press, 2004.
Th
Andari Yurikosari, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 Tentang
Pekerja Outsourcing, Quo Vadis Bagi Para Pihak dalam Hubungan Kerja,diakses
dari http://sekartrisakti.wordpress.com , pada 17 Mei 2012.
No comments:
Post a Comment