Wednesday, April 22, 2015

Undang-Undang Tentang Keselamatan Kerja




A. Pendahuluan
Undang-undang Ketenagakerjaan yang dimaksud dalam makalah ini adalah Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 (UU 13 / 2003) tentang Ketenagakerjaan yang mulai berlaku efektif tanggal 25 Maret 2003. UU 13 / 2003 ini menggantikan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Perubahan undang-undang ketenagakerjaan itu merupakah akibat terjadinya reformasi tahun 1998 yang secara yuridis telah menghasilkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi Manusia.Ketetapan MPR ini merupakan tonggak utama dalammenegakkan demokrasi di tempat kerja. Penegakkan demokrasi di tempat kerjadiharapkan dapat mendorong partisipasi yang optimal dari seluruh tenaga kerjadan pekerja/buruh Indonesia untuk membangun negara Indonesia yang dicitacitakan.

Guna mendorong partisipasi yang optimal dari seluruh tenaga kerja dan pekerja/buruh Indonesia, perlu upaya untuk antara lain membangun pemahaman bersama mengenai bagaimana masalah ketenagakerjaan ini diatur dalam UU 13/2003. Secara yuridis, pengertian ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja padawaktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Dari pengertian ketenagakerjaan itu dapat muncul persoalan mengenai apakah yang dimaksud dengan kata “segala hal” dalam pengertian tersebut. Apabila kita simak batang tubuh UU 13/2003 dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan kata “segala hal” dalam pengertian ketenagakerjaan meliputi (a) landasan, asas dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan; (b) kesempatan dan perlakuan yang sama untuk memperloleh pekerjaan; (c) perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan; (d) pelatihan kerja; (e) penempatan tenaga kerja; (f) perluasan kesempatan kerja; (g) penggunaan tenaga kerja asing; (h) hubungan kerja; (i) perlindungan, pengupakan dan kesjahteraan; (j) hubungan industrial; (k) pemutusan hubungan kerja; (l) pembinaan dan pengawasan; (m) penyidikan; (n) ketentuan pidana dan sanksi administartif.
Berdasarkan gambaran mengenai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja sebagaimana tampak dalam huruf (a) sampai dengan (n) di atas, maka sebagai langkah awal untuk memberikan bekal bagi mereka yang hendak bekerja adalah membangun pemahamanan tentang huruf (h) mengenai hubungan kerja.
B. Hubungan Kerja
Menurut pasal 1 angka 15 UU 13/2003, hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Berdasarkan ketentuan tersebut, suatu hubungan kerja mengandung makna ;
a. terdapat hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh;
b. hubungan itu terjadi karena perjanjian kerja yang memiliki unsur pekerjaan, upah dan perintah.
UU 13/2993 menentukan bahwa Pengusaha adalah (a) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatuperusahaan milik sendiri; (b) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendirimenjalankan perusahaan bukan miliknya; (c) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesiamewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yangberkedudukan di luar wilayah Indonesia. Sedangkan pekerja/buruhadalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh terjadi karena perjanjian kerja, yang memiliki unur pekerjaan, upah dan perintah. Menurut pasal 1 angka 14 UU 13/2003, perjanjian kerja itu sendiri adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.
Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Adapun dasar pembuatan perjanjian kerja adalah :
a.Kesepakatan antar pekerja/buruh dengan pengusaha/pemberi kerja;
b.Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d.Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Apabila dasar sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b (dasar subyektif) tidak dipenuhi, maka perjanjian kerja itu dapat dibatalkan. Sedangkan apabila dasar sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan d (dasar obyektif) tidak dipenuhi, maka perjanjian itu menjadi batal demi hukum.
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat :
a.nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b.nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c.jabatan atau jenis pekerjaan;
d.tempat pekerjaan;
e.besarnya upah dan cara pembayarannya;
f.syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g.mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h.tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i.tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam huruf e tentang upah dan cara pembayarannya, serta huruf f tentang syarat-syarat kerja, tidak boleh ber-tentangan dengan peraturan perusahaan , perjanjian kerja bersama , dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan parapihak.Selanjutnya dalam pasal 56 ayat (1) UU 13/2003 ditegaskan bahwa perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu atauwaktu tidak tertentu (uraiannya tampak dalam butir c dan d).
C. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
PKWT didasarkan atas (a) jangka waktu; atau (b) selesainya suatu pekerjaan tertentu. Pembuatan PKWT dilakukan secara tertulis serta harus menggunakanbahasa Indonesia dan huruf latin. Apabila PKWT tidak dibuat secara tertulis dan tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka PKWT tersebut dinyatakan sebagai Perjanjian Kerjauntuk waktu tidak tertentu (PKWTT).
PKWT tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaankerja. Jika dalam PKWT mensyaratkan masa percobaan kerja, maka ketentuan masa percobaan kerja yang disyaratkan dalam PKWT batal demi hukum.
PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yangmenurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,yaitu :
a.pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produktambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifattetap. Dengan demikian dapat diketahui bahwa UU No. 13/2003 memberikan pembatasan bagi para pihak untuk membuat PKWT, namun jika pembatasan ini tidak dipenuhi PKWT berubah menjadi PKWTT, dan perubahan menjadi PKWTT terhitung sejak dimulainya hubungan kerja berdasarkan PKWT.
Walaupun PKWT merupakan merupakan suatu perjanjian yang di dalamnya terkandung kebebasan berkontrak dan berkontrak merupakan hal yang asasi yang diserahkankepada para pihak untuk menentukan berapa lama ia akanbekerja atau dipekerjakan; karena langkanya kesempatankerja, maka dibutuhkan adanya kepastian kesempatan kerja. Selain itu, berdasarkan kebebasan berkontrak, kontrak berakhir hubungan kerja putus demihukum tanpa ada kewajiban pihak satu kepada pihaklainnya. Sehingga apabila tidak ada pembatasan maka pengusaha/pemberi kerja akan leluasamembuat kontrak untuk semua jenis pekerjaan, oleh karenaitu perlu dilakukan pembatasan jenis dan sifat pekerjaanyang dapat PKWT-kan.
Meskipun sifat pekerjaan itu merupakan pekerjaan yangterus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu,dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, namunapabila terdapat kebutuhan yang mendesak yang tidakdapat dipenuhi dengan pekerja/buruh yang ada maka dalamkondisi tersebut perusahaan dapat mempekerjakanpekerja/buruh baru dengan PKWT.
PKWT dapat diperpanjang atau diperbaharui. PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapatdiadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untukjangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Apabila pengusaha/pemberi kerja hendak memperpanjang PKWT, maka selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum PKWT berakhir, telahmemberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Sedangkan pembaharuan PKWT hanya dapat diadakan setelah melebihi masatenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya PKWT
Lama. Pembaruan PKWT hanya dapat dilakukan 1 (satu) kalidan paling lama 2 (dua) tahun. Apabila kriteria pembuatan, maupun tata cara perpanjangan dan pembaharuan PKWT tersebut tidak dipenuhi, maka PKWT tersebut karena hukum menjadi PKWTT.
D. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerjapaling lama 3 (tiga) bulan. Dalam masa percobaan kerja, pengusaha/pemberi kerja dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Pada prinsipnya PKWTT dibuat secara tertulis dan menggunakan bahasa Indonesia, namun apabila PKWTT itu dibuat secara lisan, maka pengusaha/pemberi kerja wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.Surat pengangkatan tersebut, sekurang kurangnyamemuat keterangan :
a.nama dan alamat pekerja/buruh;
b.tanggal mulai bekerja;
c.jenis pekerjaan; dan
d.besarnya upah
E. Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Oleh Suatu Perusahaan Kepada Perusahaan Lain         (Outsourcing)
Outsourcing dilakukan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yangdibuat secara tertulis.Para pihak yang terikat dalam Perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh adalah perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan dengan perusahaan yang menerima penyerahan pekerjaan tersebut (perusahaan outsoursing). UU 13/2003 menegaskan bahwa perusahaan outsourcing harus berbentuk badan hukum.
Menurut pasal 65 ayat (2) UU 13/2003,dalam kegiatan outsourcing pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Apabila terjadi kegiatan outsourcing, hubungan kerja yang terjadi adalah antara pekerja/buruh dengan perusahaan outsourcing. Agar tidak terjadi kesenjangan antara pekerja/buruhdi perusahaan outsoucing dengan pekerja/buruh pada perusahaan yang menyerahkan pekerjaan, maka pasal 65 ayat (4) UU 13/2003 berupaya untuk mengantisipasinya dengan mengatur bahwa perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sekurang-kurangnya sama dengan perlindungankerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan pengawasan atas pemenuhan syarat-syarat outsourcing sangat sulit dilakukan, sehingga pelanggaran-pelanggaran kegiatan outsourcing kerap terjadi. Pelanggaran yang banyak terjadi adalah rendahnya perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja terhadap pekerja/buruh pada perusahaan outsourcing. Perlindungan dan syarat-syarat kerja yang diberikan pengusaha kepada pekerja umumnya di bawah standar yang berlaku di mana pekerja dipekerjakan. Meskipun realisasi hubungan kerja dibuat secara tertulis antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh, akan tetapi perusahaan outsourcing mendapatkan keuntungan melalui pemotongan sebagian hak yang diterima pekerja/buruh pada perusahaan di mana pekerja ditempatkan.
Terjadinya masalah hukum dalam kegiatan outsourcing tidak menyurutkan pembentuk undang-undang untuk mengatur mengenai masalah outsourcing, sebab sebelum berlakunya UU 13/2003, lebih banyak terjadi penyelewengan hukum dalam mengatur hubungan kerja dan syarat kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh. Dengan berlakunya UU 13/ yang berupaya melindungi pekerja dari ketidakpastian hukum dalam hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan outsourcing, tetap tidak menghentikan masalah pekerja/buruhoutsourcing, bahkan di satu sisi semakin menjadi pilihan pengusaha untuk mengatur hubungan kerja dengan pekerja outsourcing dengan alasan efisiensi biaya, waktu dan tenaga bagi pengusaha.
Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Nomor 27/PUU-IX/2011, yang telah dibacakan dalam Sidang Pleno tanggal 17 Januari 2012, masalah pro dan kontra kegiatan outsourcing maupun masalah hukum yang muncul akibat kegiatan outsourcing diupayakan untuk diselesaikan. Penyelesaiannya dilakukan dengan memutuskan bahwa :
Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf bUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalamperjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindunganhak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadipergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dariperusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Sejanjutnya juga diputuskan bahwa :
Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf bUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetapada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Frasa “PKWT” dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b UU 13/2003 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, sebab menurut pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi, ketentuan itu akan mengakibatkan hilangnya jaminan kepastian hukum yang adil bagi pekerja dan hilangnya hak setiap orang untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hal itu terjadi, karena dengan berakhirnya pekerjaan pemborongan atau berakhirnya masa kontrak penyediaan pekerja/buruh maka dapat berakhir pula hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh, sehingga pekerja/buruh kehilangan pekerjaan serta hak-hak lainnya yang seharusnya diperoleh.
Menurut Mahkamah Konstitusi, pekerja/buruh yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsorcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi oleh konstitusi. Untuk itu, Mahkamah harus memastikan bahwa hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan outsourcing yang melaksanakan pekerjaan outsourcing dilaksanakan dengan tetap menjamin perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh, dan penggunaan model outsourcing tidak disalahgunakan oleh perusahaan hanya untuk kepentingan dan keuntungan perusahaan tanpa memperhatikan, bahkan mengorbankan, hak-hak pekerja/buruh. Jaminan dan perlindungan demikian tidak dapat dilaksanakan dengan baik hanya melalui perjanjian kerja yang mengikat antara perusahaan dengan pekerja/buruh berdasarkan PKWT, karena posisi pekerja/buruh berada dalam posisi tawar yang lemah, akibat banyaknya pencari kerja atau oversupply tenaga kerja.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, untuk menghindari perusahaan melakukan eksploitasi pekerja/buruh hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis tanpa memperhatikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, dan untuk meminimalisasi hilangnya hak-hak konstitusional para pekerja outsourcing, Mahkamah perlu menentukan perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh. Dalam hal ini ada dua model yang dapat dilaksanakan untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh.
Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk PKWTT.Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.Melalui model yang pertama tersebut, hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing adalah konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan “perjanjian kerja waktu tidak tertentu” secara tertulis. Model yang kedua diterapkan, dalam hal hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melakukan pekerjaan outsourcing berdasarkan PKWT maka pekerja harus tetap mendapat perlindungan atas hakhaknya sebagai pekerja/buruh dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
F. Berakhirnya Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja (baik PKWT maupun PKWTT) berakhir apabila :
a.pekerja meninggal dunia;
b.berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c.adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d.adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkanberakhirnya hubungan kerja.
Namun UU 13/2003 menegaskan bahwa perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa apabila terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidakmengurangi hak-hak pekerja/buruh.
Jika pengusahanya adalah orang perseorangan dan meninggal dunia, maka ahli waris pengusahadapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh. Sebaliknya jika pekerja/buruh meninggal dunia, maka ahli waris pekerja/ buruh berhak mendapatkan hak haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlakuatau hak hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atauperjanjian kerja bersama.
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerjabukan karena alasan pengakiran sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d di atas, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
DAFTAR PUSTAKA
F.X. Djulmiaji, Perjanjian Kerja, Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia, Jakarta: Grhadika Binangkit Press, 2004.
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1999.
Rr Ani Wijayati, Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Outsourcing) dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003, dalam Bunga Rampai Masalah-masalah Hukum Masa Kini, Jakarta: UKI Press, 2004.
Th Andari Yurikosari, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 Tentang Pekerja Outsourcing, Quo Vadis Bagi Para Pihak dalam Hubungan Kerja,diakses dari http://sekartrisakti.wordpress.com , pada 17 Mei 2012.

No comments:

Post a Comment